Oleh : Erwin Usman, S.H
Pengacara & Konsultan Hukum
Kabar baik. Pemerintah akhirnya mencabut aktivitas izin tambang di pulau Kabaena, kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyampaian hal tersebut, petang hari ini. Senin, (18/08/25).
Kita tahu, dari 25 korporasi, terdapat 16 izin usaha pertambangan atau IUP aktif di pulau Kabaena. Mayoritas nikel. Yang telah ada di pulau kecil tersebut sejak hampir dua dekade. Lebih ironis: 75 persen luas tanah di pulau kecil itu telah dibebani izin tambang nikel.
Padahal sesuai UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, jelas melarang ada aktivitas pertambangan di pulau kecil yang luasnya kurang dari 2.000 km². Sedangkan pulau Kabaena luasnya: 891 km². Aturan pelarangan ini juga diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 35/PUU-XXI/2023.
Yurisprudensi hukumnya juga bisa dilihat pada kasus pencabutan izin tambang di pulau Wawonii, Konawe Kepulauan dan Raja Ampat, Papua Barat Daya. Keduanya di tahun 2025 ini.
Hal yang sama berlaku juga buat aktivitas tambang nikel di pulau Talaga di selatan Kabaena yang secara administratif berada di wilayah kabupaten Buton Tengah. Pulau ini, jauh lebih kecil lagi dari Pulau Kabaena. Mestinya tak boleh ada aktivitas tambang. Di sana ada tambang PT AMI dan PT AMINDO. Direkturnya adalah eks petinggi Polri berpangkat jenderal bintang dua.
Saya ingat, di tahun 2010, kami pernah mengadvokasi kasus kriminalisasi rakyat karena melawan tambang tersebut. Rakyat protes besar atas operasi tambang yang merampas tanah rakyat, dan sejumlah rakyat penolak dan aktivis mahasiwa dijembloskan ke dalam penjara di LP Baubau.
Penting disuarakan, tambang jangan hanya ditutup. Tapi rangkaian kejahatan lingkungan hidup korporasi tambang berupa pencemaran, menambang di kawasan hutan lindung, praktik suap, gratifikasi, dan korupsi pada pejabat serta orang kuat yang selama ini jadi beking, harus diusut tuntas. Termasuk praktik pencucian uangnya.
Presiden Prabowo tak cukup cuma pidato keras di senayan. Harus ditunjukkan: mana orang kuat, pejabat, orang besar, jenderal aktif dan eks jenderal TNI atau Polri yang selama ini menikmati uang dari hasil menghancurkan alam dan sumber hidup rakyat secara ugal-ugalan. Harus ada proses hukum. Jangan hanya pion-pion kecil perusahaan yang dijadikan tumbal. Lalu kemudian kita diminta lupakan lagi.
Harus terus sama-sama diawasi kelanjutan kebijakan ini. Gunakan akun sosmed rekan-rekan semua, buat menyuarakan hal seperti ini. Caranya sebarluaskan informasi yang ada. Jangan pernah berharap sama elit.
Situasi saat ini: bila tak viral, tak akan diperhatikan. No viral, no justice. Apalagi berharap perusahaan tambang itu akan bangun jalan di Kabaena. Ini ‘gula-gula’ pemanis kerjasama elit dan korporasi, biar rakyat dibungkam agar tak marah dan berontak. Sudahi mimpi di siang bolong seperti ini.
Saatnya kita minta korporasi itu diadili atas kejahatan ekologi yang telah dilakukan. Desak pemulihan pulau Kabaena dan Talaga. Mereka selama ini merasa nyaman, kuat, sebab dibekingi pejabat dan oknum jenderal rakus. Diperparah dengan sikap birokrasi lokal yang tak punya visi keberlanjutan tata kelola SDA.
Mahasiswa Sultra, ayoo bergerak!
Kawan-kawan LBH, pengacara publik, dan LSM lingkungan dan HAM, baiknya segera konsolidasi: ajukan gugatan perwakilan kelompok (class action) lingkungan; agar ganti rugi dan pemulihan lingkungan oleh perusahaaan tambang itu dikawal dengan putusan hukum.
Tinggalkan Balasan